SEMINAR NASIONAL
SEMINAR NASIONAL
Mendorong NTT Menuju Provinsi Literasi
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) didorong menjadikan NTT provinsi literasi kritis. Walau NTT sejauh ini berada di urutan kedelapan dari 10 besar daerah dengan tingkat minat baca yang tinggi, tetap kecakapan literasi belum berada di level literasi kritis.
Demikian disampaikan Direktur Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof. Feliks Tans pada acara pembukaan seminar nasional bertajuk “Mendorong NTT menuju Provinsi Literasi” melalui siaran zoom meeting, Selasa (7/6).
Menurut Prof. Feliks, Provinsi NTT hingga saat ini masih belum sepenuhnya menjadi provinsi literasi, sehingga harus terus didorong. Sesungguhnya, terdapat tiga tipe atau tahapan literasi, yaitu literasi dasar, literasi budaya, dan literasi kritis. Di NTT, literasi dasar dan literasi budaya mungkin saja sudah tampak memuaskan, tapi belum sampai pada tahap literasi kritis.
“Karena itu, saya kira, tema seminar nasional hari ini (Selasa, 7/6, red) sangat relevan dengan kondisi literasi NTT saat ini. Provinsi NTT memang harus terus didorong untuk segera menjadi provinsi literasi, tapi harus diarahkan ke literasi kritis,” kata Prof. Feliks saat menyampaikan sambutannya.
Hal demikian, jelas Prof. Feliks, karena melalui literasi kritis, seseorang tidak hanya cakap dalam membaca atau menulis atau berhitung, dan lainnya, tapi lebih daripada itu akan senantiasa mempertanyakan secara kritis apa yang dibacanya.
“Jadi, berbicara tentang gerakan literasi harus sampai ke tahap literasi kritis. Sebab, literasi bukan hanya soal kemampuan baca-tulis semata, melainkan literasi bagian dari kehidupan itu sendiri. Saya harap, luaran dari seminar ini adalah ada rekomendasi ke pemerintah daerah untuk jadikan NTT provinsi literasi,” ujar Prof. Feliks.
Tampil sebagai salah satu narasumber, Rektor Universitas Nusa Cendana Dr. Maxs U.E.Sanam menyentil kondisi literasi di NTT yang pada umumnya masih berkutat pada tradisi lisan, sementara tradisi menulis belum begitu menonjol, sehingga gerakan literasi memang perlu digenjot.
“Soal literasi di NTT, budaya tutur masih sangat kuat ketimbang budaya baca-tulis. Budaya tutur hanya andalkan memori, dan ini akan sulit. Ketika memasuki usia 50-an, apa yang ada dalam memori perlahan menyusut, sehingga budaya baca dan tulis perlu digebrakkan,” ujar Dr. Maxs.
Sementara itu, Plt. Kadis Pendidikan dan Kebudayaan NTT Henderina S. Laiskodat, yang juga tampil sebagai salah satu narasumber pada seminar itu, mengungkapkan Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT telah mencanangkan program literasi di sekolah-sekolah, khususnya di SMA/SMK.
“Karena SMA/SMK berada langsung di bawah komando Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, kita wajibkan sekolah-sekolah ini budayakan literasi membaca dan menulis, juga numerasi. Di sekolah-sekolah ini, anak-anak didik diwajibkan untuk membaca terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, sehingga terbentuklah budaya literasi,” kata Henderina. (Vic/Lek).